Jika mencari keadilan hakiki di muka bumi, itu tak akan mungkin bisa ditemui. Indra Azwan (51) tidak menuntut sejauh itu. Dia hanya berharap ada hukuman yang setimpal bagi anggota polisi Kompol Joko Sumantri.
Menurut warga Desa Watu Barat, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu, Joko-lah yang harus bertanggung jawab atas tewasnya sang putra, Rifki Andika (7), dalam sebuah kecelakaan 17 tahun silam, tepatnya tahun 1993. Namun, selama kurun waktu itu, keadilan ternyata tidak pernah datang.
Akhirnya dengan semangat mencari keadilan, dia pun nekat melakukan aksi jalan kaki dari Malang sampai ke Jakarta. "Ini jalan terakhir. Saya sudah mentok meminta keadilan ke mana-mana, mulai dari Komnas HAM, Satgas Mafia Hukum, Ombudsman, semuanya," tutur Indra ketika ditemui wartawan di LBH Jakarta, Jumat siang.
Dia berangkat dari desanya pada Selasa, 8 Juni 2010, hanya berbekal uang Rp 500.000, dua pasang sepatu, dan semangat. Dia berjalan kaki dengan tekad minta keadilan. "Perjalanan saya selama 22 hari. Saya awali setelah shalat Subuh sampai pukul 21.00 WIB. Berbekal peta dan baju lima lembar, selama perjalanan memakai dua sepatu bergantian," tuturnya.
Perjalanan itu mengakibatkan dua kuku kakinya hampir copot. "Kulit kaki sudah kapalan," ujarnya menambahkan. Tapi, semua itu tidak pernah dirasakannya. "Hati saya yang sakit, Mas. Keadilan itu cuma untuk orang kaya," katanya dengan geram.
Dia pun bercerita tentang peristiwa kelam yang dialami buah hatinya. Kisah duka itu terjadi sekitar 17 tahun silam. Rifki, putra pertamanya, tertabrak sepeda motor yang dikemudikan seorang anggota Polri, Joko Sumantri, saat akan menyeberang jalan.
Mulanya, proses hukum kasus itu sempat berjalan, tapi hanya sesaat. Beberapa lama kemudian, kabar proses hukum kasus ini bagai raib "ditelan bumi". Indra tidak pernah memperoleh kabar apa pun tentang perkembangan proses hukum kasus ini. "Sampai akhirnya, pada tahun 2008, anggota Polri itu disidang di PN Malang. Tapi anehnya, dia langsung divonis bebas oleh hakim. Hakim membebaskan, dengan alasan kasus sudah kedaluwarsa," katanya dengan nada tinggi.
Dia mengaku kesal dengan keputusan tersebut. Dirinya merasa diperlakukan tidak adil. "Polisi itu sampai sekarang masih dinas di Polda Jatim," ujarnya.
"Saya sudah sempat melaporkan masalah ini ke anggota Komisi III DPR, Azis Syamsuddin. Tapi, sampai sekarang belum ada tindak lanjut. Mereka hanya bisa janji-janji saja," katanya. Dirinya juga pernah melapor ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. "Bertemu dengan salah satu stafnya, katanya akan dipelajari," ujarnya.
Namun, berbulan-bulan belum ada kabar, sampai beberapa minggu lalu, Azwan menghubungi lagi salah satu staf Satgas. "Tapi, jawabannya menyakitkan. Dia bilang, itu bukan urusan kami. Itu tugas Deputi Hukum, katanya. Saya kecewa dia ngomong seperti itu," tutur pria berkacamata itu. Sampai akhirnya, dia nekat melakukan aksi jalan kaki Malang-Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dari kantor LBH, Indra kembali berjalan kaki menuju Istana Negara. Diiringi sejumlah sukarelawan yang menemaninya, dan dikawal polisi bersepeda motor, dia berjalan lewat kawasan Menteng, Bundaran HI, langsung ke Jalan Medan Merdeka Barat dan Istana Negara.
Sampai di depan Istana, dia sempat bertemu dengan putrinya, Dwi Anita Rahmania, yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat. "Saya langsung ke sini (depan Istana) begitu mendengar Bapak datang ke Jakarta dengan berjalan kaki," ujar sang putri. Pertemuan mengharukan pun terjadi, keduanya saling berangkulan sambil menangis.
Di depan Istana, Indra sempat melakukan orasi. Dua janda pahlawan, Soetarti dan Timoria, sempat menemuinya. Keduanya memberikan dukungan karena merasa senasib mendapat perlakuan tidak adil.
Dengan berdasarkan cerita di atas saya menilai bahwa sesungguhnya hukum di inidonesia masih belum berjalan dengan baik, bahkan banyak yang mengatakan hukum di indonesia itu bisa dibeli atau keadilan hanya didapatkan untuk orang yang ber-uang saja (kaya).Memang terdengar agak riskan jika hanya melihat pada satu sisi kasus saja.Namun jika ingin memperbaiki citra tentang hukum alangkah baiknya kasus ini diselesaikan sampai tuntas.Bukankah Negara ini adalah Negara hukum, jadi jika hukum tidak dapat ditegakan dengan sebaik-baiknya masih pantaskah Negara ini disebut Negara hukum…?
Menurut pendapat saya sebagai seorang mahasiswa seharusnya hukum ditegakan tanpa pandang bulu, entah apakah seorang itu kaya atau miskin, atau orang tersebut dipandang besar namun hukum tetaplah hukum.Jika seseorang bersalah maka dia harus menerima ganjaran atas apa yang dilakukan.
”Jika terdapat ucapan yang kurang berkenan atau menyinggung mohon maaf yang sebesar-besarnya”
0 komentar:
Posting Komentar